Resmen Kadafi: Gelar Adat Lampung Bukan Seremoni, Tapi Simbol Kehormatan Sakral
Way Kanan – Tokoh masyarakat Way Kanan, Resmen Kadafi, menyampaikan kritik tajam terhadap maraknya penyimpangan nilai-nilai adat dalam praktik sosial dan budaya masyarakat Lampung saat ini.
Menurutnya, gelar adat bukanlah sekadar formalitas atau atribut seremonial, melainkan simbol kehormatan dan identitas luhur yang sakral.
“Lampung adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki adat istiadat yang terus terjaga, dan diwariskan secara turun-temurun. Nilai-nilai sosial dan kearifan lokal yang ada di dalamnya adalah fondasi identitas orang Lampung,” tegas Resmen Kadafi, yang menyandang gelar Pangeran Tata Negara.
Adat sebagai Sistem Sosial dan Kultural
Resmen menjelaskan bahwa masyarakat adat Lampung terdiri atas berbagai kebuayan atau kelompok adat yang saling berkaitan, seperti organ tubuh yang memiliki fungsi masing-masing namun menyatu dalam sistem yang utuh.
Dalam struktur adat Lampung, terdapat dua subkultur besar yang menjadi pilar utama, yakni Adat Pepadun dan Adat Saibatin.
Adat Pepadun dikenal sebagai sistem yang menjunjung tinggi musyawarah mufakat (merwatin/perwatin) dan kolektivitas dalam pengambilan keputusan.
Sedangkan Adat Saibatin, atau yang kerap disebut Adat Pesisir, menganut sistem otokratis, di mana kekuasaan adat berada di tangan seorang pemimpin tunggal (Saibatin), dan keputusannya disebut titah.
“Meskipun berbeda corak, keduanya sama-sama memiliki prinsip dan nilai sakral yang tidak bisa diabaikan,” jelasnya.
Tata Cara Pemberian Gelar Adat
Resmen Kadafi juga menyoroti proses pemberian gelar adat (adok) yang menurutnya kini mulai mengalami banyak penyimpangan. Padahal, dalam pakem adat Lampung, pemberian gelar tidak bisa dilakukan sembarangan.
“Adok Pepadun diberikan berdasarkan garis keturunan kepenyimbangan orang tua. Pemberiannya melalui prosesi adat resmi seperti Begawi Agung atau Begawi Kughuk, dengan klasifikasi dan tahapan yang ketat,” tegasnya.
Ia menjelaskan, beberapa jenis gelar yang diberikan melalui prosesi ini antara lain: Suttan, melalui Begawi Agung Cakak Pepadun, Begawi Mancur Jaman yakni prosesi penurunan gelar dari ayah yang bergelar Sultan kepada anak tertua laki-laki sebagai penerus. Pengiran dan Tuan, melalui Begawi. Raja, Ratu, Radin, dan lainnya melalui prosesi Kughuk
Selain dari jalur keturunan, gelar adat juga dapat diberikan melalui jalur pernikahan (Semanda) atau pengangkatan saudara (Angkon Muwaghi).
Namun tetap harus melalui prosedur adat yang sah dan tidak bisa dilakukan sembarangan.
Resmen juga menjelaskan bahwa ada banyak gelar yang sesungguhnya hanya bersifat internal keluarga, seperti panggilan dari nenek ke cucu, atau paman ke ponakan.
Gelar-gelar ini hanya berlaku dalam lingkup keluarga dan tidak boleh digunakan sebagai panggilan resmi atau publik, kecuali telah dilegitimasi dalam prosesi adat terbuka yang disaksikan seluruh marga dan kebuayan.
Pentingnya Cempala dan Pranata Adat
Lebih jauh, Kadafi menekankan pentingnya keberadaan Cempala yakni hukum adat Lampung yang menjadi fondasi sosial dan spiritual masyarakat adat.
Cempala menjadi pedoman dalam setiap prosesi adat, termasuk pemberian gelar, upacara sosial, hingga penyelesaian sengketa.
“Dalam setiap prosesi adat, baik pemberian gelar maupun kegiatan kemasyarakatan, wajib berpedoman pada Cempala dan aturan turun-temurun lainnya,” ujarnya.
Komersialisasi Gelar dan Penyimpangan Adat
Kritik paling keras disampaikan Resmen Kadafi terhadap maraknya komersialisasi gelar adat dan penyimpangan nilai-nilai sakral dalam masyarakat.
Menurutnya, banyak pihak yang mengaku melestarikan adat, tetapi dalam praktiknya justru menyimpang dan merusak tatanan adat itu sendiri.
“Pemberian adok dan penggunaan pedandanan adat saat ini sering dilakukan tanpa mengindahkan nilai-nilai hukum adat. Ini bentuk pengingkaran terhadap sejarah dan jati diri orang Lampung,” tegasnya.
Ia menyayangkan gelar adat kini justru kerap dijadikan sebagai simbol kosmetik, alat pencitraan, bahkan komoditas.
Dalam era modernisasi, banyak simbol-simbol adat, seperti pakaian adat, digunakan secara serampangan tanpa memahami nilai-nilai historis di baliknya.
“Sempat ramai di media sosial soal penggunaan pakaian adat Lampung Way Kanan dalam prosesi komunitas LGBT di luar negeri. Ini jelas mencoreng nilai adat. Pakaian adat tidak bisa dipakai sembarang orang, apalagi untuk kegiatan yang bertentangan dengan nilai luhur,” ujarnya dengan nada prihatin.
Seruan kepada Pemerintah dan Tokoh Adat
Menutup pernyataannya, Resmen Kadafi menyerukan kepada Pemerintah Provinsi Lampung serta pemerintah kabupaten/kota agar tidak diam dan mengambil peran nyata dalam menjaga marwah adat Lampung.
Ia juga mendorong sinergi bersama tokoh-tokoh adat yang berintegritas dan paham terhadap struktur adat secara autentik.
“Jika warisan ini rusak, maka generasi berikutnya tidak akan memiliki jati diri. Pemerintah harus bersinergi dengan tokoh-tokoh adat untuk menjaga warisan ini dari penyalahgunaan dan degradasi nilai,” ujarnya.
Sebagai bagian dari generasi pelanjut, Resmen Kadafi menyatakan dirinya terpanggil untuk menjaga, merawat, dan menegakkan adat Lampung yang adi luhung.
Bagi Resmen, adat bukan sekadar warisan, tetapi fondasi kehidupan masyarakat yang beradab.
“Bangsa yang menghargai sejarah dan adat istiadat adalah bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Kita tidak boleh membiarkan adat ini dikerdilkan oleh praktik-praktik yang merusak,” tutupnya.




2 Komentar
Emang gelar adat sakral..karna melalui prosesi adat..klo gelar dang ike dikasih dan di tetah kan di negara batin kampung ibunya.dan sy pun ketika nikah dapat gelar adat juga dari negara batin suttan ratu marga..melalui prosesi juga.
amai adok / juluk adik jak pihak kelama, terus yang dipakai gelar dari pihak bapak kamu apa gelar amai adok yai nero ? amai adok itukan hanya penyacaan keluarga kelama gak berlaku dimuka umum